Khutbah Idul Fitri 1440 H PENGUATAN SEMANGAT REKONSILIASI NASIONAL DAN NILAI-NILAI PERSAUDARAAN PASCA RAMADHAN

Allahu Akbar 3x walillahi al-hamd…

Hadirin, Bapak-Ibu Jama’ah Idul Fitri Masjid Nasional Al-Akbar yang dirahmati Allah SWT.

Hari ini seluruh ummat Islam di dunia merayakan datangnya Idul Fitri dengan lantunan takbir, tasbih dan tahmid. Seluruh ummat Islam bersuka cita dan larut dalam kebahagiaan yang mendalam untuk menandakan keberhasilan mereka menjalani seluruh rangkaian ibadah di bulan Ramadhan. Selama sebulan penuh ummat Islam menjalankan berbagai ibadah, baik di siang hari maupun di malam hari. Di siang hari kita diharuskan berpuasa, dengan menahan lapar dan dahaga serta berhubungan suami-istri; di malam hari kita menjalankan shalat tarawih, tadarrus Al-Qur’an, dzikir hingga qiyam al-lail. Semua aktivitas orang yang berpuasa dinilai ibadah dan, karenanya, diberi pahala yang berlipat ganda oleh Allah SWT. Di hari yang suci ini, marilah kita memanjatkan doa semoga Allah senantiasa meridloi dan berkenan dengan seluruh rangkaian ibadah yang telah kita jalankan sebulan penuh. Semoga pula Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk bertemu bulan Ramadhan di tahun-tahun yang akan datang. Amiiin YRA….

Allahu Akbar 3x walillahi al-hamd…

Hadirin, jama’ah shalat Idul Fitri Rahimakum Allah…

Bulan Ramadhan tahun ini dapat dikatakan istimewa bagi kita seluruh bangsa Indonesia, karena beriringan dengan pesta demokrasi lima tahunan yang kita laksanakan pada tanggal 17 April lalu. Bulan Ramadhan kali ini juga bertepatan dengan penghitungan dan penetapan hasil Pemilu oleh KPU. Hal ini mengingatkan kita dengan beberapa Ramadhan yang telah terjadi pada masa lalu yang pelaksanaannya beriringan atau bahkan bersamaan dengan agenda nasional bangsa Indonesia. Ambillah contoh Ramadhan yang terjadi pada tahun 1945 yang berbarengan dengan pendeklarasian hari Kemerdekaan RI oleh Soekarno-Hatta yang belakangan diangkat menjadi duet Presiden-Wakil Presiden RI.

Beberapa peristiwa sejarah yang terjadi pada saat Nabi Muhammad masih hidup juga terjadi di bulan suci Ramadhan. Ambillah contoh seperti perang Badar, penaklukkan Makkah (fathu Makkah), dan peristiwa turunnya Al-Qur’an (nuzul al-Qur’an). Tiga peristiwa inilah yang senantiasa akan dikenang dalam sejarah Islam bahkan ummat manusia pada umumnya yang kelak menjadi tonggak kejayaan Islam di muka bumi ini. Jika diungkap secara lengkap, masih banyak lagi peristiwa bersejarah yang terjadi pada bulan suci Ramadhan. Hal ini menandakan bahwa puasa di bulan Ramadhan bukan menjadi penghalang bagi terciptanya prestasi-prestasi besar ummat Islam. Rasa lapar dan dahaga yang dirasakan ummat Islam pada saat itu justru memberikan suntikan lebih atau energi berlipat ganda dalam menjalankan aktivitas kehidupan mereka. Semuanya dilakukan demi satu tujuan: memuliakan Islam dan ummat Islam (izzul Islam wa al-muslimin).

Allahu Akbar 3x walillahi al-hamd… Hadirin Rahimakum Allah…

Sayang seribu sayang, Ramadhan kali ini agak ternoda dengan aksi kerusuhan massa di Jakarta yang menimbulkan korban jiwa. Aksi ini patut disayangkan karena korban dan mayoritas petugas sama-sama sedang menjalankan ibadah puasa. Jika perang Badar dan penaklukan Makkah dilakukan oleh ummat Islam melawan kaum musyrik dan kafir Qurays, tidak demikian halnya kerusuhan di Jakarta. Mereka yang terlibat sama-sama Muslim dan bahkan sama-sama sedang menjalankan ibadah puasa. Oleh karena itu, seruan jihad yang dilontarkan secara tidak bertanggungjawab oleh pihak-pihak tertentu tidaklah tepat untuk memerangi kelompok sendiri.

Sekalipun sangat disayangkan, tetapi nasi sudah jadi bubur. Aksi kerusuhan 22 Mei takkan terjadi seandainya seluruh komponen bangsa bisa menahan diri dari berbagai perkataan dan tindakan yang dapat memancing emosi massa. Kemampuan menahan diri inilah yang sebenarnya menjadi inti pesan Ramadhan yang semestinya dijadikan sebagai landasan berpikir dan bertindak bagi kita ummat Islam. Menurut ahli Bahasa, istilah Ramadhan berasal dari akar kata r-m-dh yang berarti membakar. Dalam konteks olah batin, istilah membakar ini sepadan dengan tindakan menahan diri. Menahan diri dari apa? Dari berbagai perbuatan yang dapat menimbulkan dosa dan kerusakan. Dalam kaitan ini, Imam Al-Ghazzali mengartikan Ramadhan sebagai al-imsak ‘an al-jawarih wa al-makarih (menahan diri dari seluruh perbuatan yang jahat dan tidak disukai).

Allahu Akbar 3x walillahi al-hamd…
Bapak-Ibu hadirin yang dirahmati Allah…
Tindakan yang jahat dan berbahaya tidak akan terjadi jika dalam hati dan pikiran kita sudah terkondisikan prasangka-prasangka yang baik. Persoalannya, banyak dari kita yang sekalipun menjalankan ibadah puasa, tetapi hati dan otaknya masih dikotori oleh berbagai syak wasangka terhadap saudara-saudara sendiri seiman dan seagama. Di era digital seperti sekarang ini, berbagai pikiran jelek berseliweran di ruang-ruang publik berkat keberadaan media sosial. Media sosial yang semestinya dapat digunakan sebagai sarana dakwah dan menyebar kebaikan, disalahgunakan untuk menebarkan kebencian dan berita bohong. Dari sinilah perpecahan terjadi. Hanya karena pilihan politiknya berbeda, kita menjadi lupa daratan terhadap saudara sendiri sebangsa se-Tanah Air. Kita menjadi korban dari ulah tangan-tangan jahil yang mencoba mengobok-obok masyarakat kita. Jika kerusuhan dalam skala yang lebih luas terjadi, maka kita semua rugi. Yang untung adalah para pialang dan petualang politik yang hidupnya memang berasal dari berjualan atau berbisnis konflik. Merekalah yang menghendaki kita bangsa Indonesia hancur-lebur.

Oleh karena itu hadirin rahimakum Allah…

Melalui mimbar ini saya menyerukan kepada seluruh yang hadir di masjid yang mubarak ini, utamanya kepada diri saya sendiri: mari kita akhiri perpecahan, jagalah persaudaraan, dan jadilah warga negara yang cerdas yang tidak mudah percaya terhadap berita-berita bohong yang beredar di media sosial. Percayalah, ada pihak-pihak tertentu yang memang menghendaki kita berpecah belah, luluh lantak, saling baku bunuh, sampai negeri ini benar-benar hancur berantakan. Bagi para pembuat berita bohong: berhentilah menjadi bagian dari mata rantai dosa yang hanya akan merugikan dan bahkan membunuh saudaranya sendiri. Menjadi warga negara yang cerdas dalam menyikapi berbagai berita bohong sejalan dengan ajaran Islam. Kita diajari untuk selalu tabayun, mengklarifikasi berbagai berita yang belum terjamin kebenarannya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS Al-Hujurat: 6).
Oleh karena itu, sejak sekarang, jadilah pembaca dan pengguna media sosial yang cerdas dan kritis terhadfap berbagai berita, terlebih berita bohong. Minimal janganlah kita buru-buru meyakini apalagi men-share berita tersebut, sampai diketahui tingkat kebenarannya. Jika berita-berita tersebut benar-benar bohong dan kemudian telanjur dikonsumsi oleh masyarakat luas—apalagi telah menimbulkan gangguan keamanan dan kerusuhan sosial— maka kita akan mendapatkan dosa akibat perbuatan kita tersebut.

Allahu Akbar 3x walillahi al-hamd…
Hadirin kaum muslimin yang dirahmati Allah…

Jangan sampai apa yang sudah kita lakukan sepanjang bulan Ramadhan menjadi sia-sia karena dosa-dosa yang kita perbuat. Hal demikian diibaratkan dengan perbuatan menenun kain tetapi setelah jadi justru diurai kembali menjadi benang. Hal ini menjadi perumpamaan bahwa apa yang sudah kita bangun jangan sampai kita rusak kembali melalui perbuatan kita sendiri. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an: “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali” (QS An-Nahl: 92).

Oleh karena itu hadirin rahimakum Allah…

Supaya amal ibadah kita selama bulan suci Ramadhan tidak sia-sia, janganlah kita kotori dengan perbuatan-perbuatan tercela seperti mengumbar kebencian, menyebarkan berita bohong, memecah-belah, dan semacamnya. Apapun alasannya, hal demikian hanya akan meruntuhkan keutamaan dan pahala bulan suci Ramadhan kita. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulum al-Din mengatakan, lima hal yang dapat membatalkan puasa adalah: berbohong (menyebarkan hoaks), mengadu domba, ghibah (membicarakan aib orang lain), sumpah palsu dan memandang dengan syahwat. Jika ini yang dilakukan, maka puasa kita hanya puasa awwam yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali hanya lapar dan dahaga. Na’udzubillahi min dzalik…! Semoga puasa kita bukan puasa awwam, tetapi puasa khawwas, bahkan khawwas al-khawwas. Oleh karena itu, jika kita berpuasa tetapi tetap menebar kebencian dan berita bohong yang mencelakai orang lain, berarti telah gagal puasa kita.

Allahu Akbar 3x walillahi al-hamd…
Bapak-Ibu kaum Muslimin yang dirahmati Allah…

Memasuki bulan Syawwal ini, marilah kita rajut kembali semangat rekonsiliasi dan persaudaraan (ukhuwwah) di antara kita. Lupakan perbedaan pilihan politik di antara kita. Jangan jadikan perbedaan sebagai pangkal perpecahan di antara kita. Tetapi justru jadikan perbedaan sebagai alat mempererat tali silaturahim dan persaudaraan di antara kita. Pilihan boleh berbeda. Yang tidak boleh adalah berpecah-belah dan bercerai-berai akibat perbedaan pilihan, apalagi pilihan politik belaka. Yakinlah bahwa pilihan politik yang sudah kita buat tidak akan mengantarkan kita menuju surga atau neraka; mendatangkan pahala atau siksa. Yang benar adalah, tindakan menjatuhkan pilihan politik merupakan ikhtiar yang didorong oleh keinginan menjadikan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik. Ketika pilihan sudah dijatuhkan, maka kita sudah berijtihad. Ketika kita sudah berijtihad, maka tidak ada benar atau salah, karena kedua-duanya diberi pahala oleh Allah SWT.

Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 10).

Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman:
“Dan berpegang teguhlah kalian pada tali agama Allah dan janganlah bercerai berai…” (QS. Ali Imran: 103).

Allahu Akbar 3x walillahi al-hamd… Hadirin kaum muslimin yang berbahagia…

Dari kedua ayat di atas maka jelaslah bahwa menjalin ukhuwwah dan persatuan ummat merupakan perintah Allah yang wajib kita patuhi, terlepas dari perbedaan-perbedaan pilihan yang diambil dalam kehidupan ini. Kita harus mewaspadai sumber-sumber perpecahan di antara kita. Di antara sumber perpecahan bangsa adalah melakukan adu domba, meremehkan orang lain, mencaci maki, dan semacamnya. Pilihan politik yang berbeda jangan membuat kita saling mencaci maki, mencemooh, apalagi menyebarkan berita bohong untuk mengadu domba.

Sebutan “kecebong”, “kampret”, “taghut”, “dajjal”, dan julukan-julukan lain terhadap sesama saudara kita sendiri sungguh tidak mencerminkan keluhuran akhlak dan budi pekerti Islam. Persoalannya, istilah-istilah semacam inilah yang akhir-akhir telanjur menghiasi media sosial kita. Dan celakanya, sebagian dari kita secara tidak sadar justru larut dalam kebohongan berita tersebut dan bahkan ikut menyebarluaskannya. Istilah-istilah ini hanya menimbulkan kecurigaan, kebencian, bahkan perpecahan bangsa. Jika tidak bisa dipulihkan, hal semacam ini akan mengantarkan pada kehancuran bangsa dan negara kita secara total.

Na’udzu billahi min dzalik…!
Allahu Akbar 3x walillahi al-hamd…
Hadirin kaum muslimin yang berbahagia…

Kata-kata “wa’tashimu bihablillah” itu menghendaki masyarakat Islam untuk menyadari bahwa mereka hidup bersama banyak orang, banyak kelompok lain, dan komunitas, yang memiliki aspirasi-aspirasi tertentu yang berbeda satu sama lain. Dan mengambil pilihan aspirasi serta menyalurkannya secara konstitusional dalam Pemilu adalah hak setiap warna negara yang dijamin oleh UU, dilindungi oleh negara. Yang tidak boleh adalah menghalangi orang lain untuk memiliki pilihan yang berbeda dari kita. Apalagi menghasut dan mengadu domba mereka yang memiliki pilihan politik berbeda hingga menimbulkan perpecahan dan konflik sia-sia. Jika kita terus saling bertengkar hanya karena soal urusan remeh-temeh, kapan kita menjadi ummat yang kuat dan dewasa?

Yang terpenting dari itu semua adalah, nilai-nilai rekonsiliasi dan persaudaraan yang kita kehendaki bukanlah yang bersifat sementara; sementara memasuki bulan Syawwal lantas kita bersalam-salaman, seolah-olah kita sudah berdamai dan perselisihan berakhir. Tetapi begitu memasuki bulan Dzulqa’dah kita sudah mulai melupakan tali persaudaraan yang sudah kita bangun. Dan di bulan Dzulhijjah bahkan kita memulai pertengkaran lagi. Jadi hadirin rahimakumullah… Persaudaraan dan ukhuwwah yang dikehendaki di sini adalah yang bersifat hakiki, kokoh dan abadi. Yakni ukhuwwah yang tidak lekang oleh zaman dan tidak lapuk oleh waktu. Pendek kata, persaudaraan sejati selamanya, baik (1) ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan seiman/seagama); (2) ukhuwwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa se-Tanah Air), dan; (3) ukhuwwah basyaraiyah/insaniyah (persaudaraan universal). Ketiga-tiganya harus berjalan beriringan, tidak boleh saling didahulukan atau diakhirkan. Dengan cara demikian, bangunan kebangsaan dan keagamaan kita akan berjalan beriringan secara kokoh. Wallahu a’lam bi al-shawab…

Oleh;
Prof. Masdar Hilmy, S.Ag. MA., Ph.D
(Guru Besar & Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya)

BeritaTerkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *