Bagaimana Hukum Pengalengan Daging Kurban?

Pertanyaan: Ustadz, akhir-akhir ini banyak program pengalengan daging kurban. Bagaimana hukumnya? Terimakasih atas jawabannya. – Adib, Gresik –

Pertanyaan ini dijawab langsung oleh Prof Dr H Ahmad Zahro, MA (Imam Besar Masjid Nasional Al Akbar Surabaya dan Ketua Umum Ikatan Persaudaraan Imam Masjid (IPIM) se-Indonesia)

Daging (semua bagian dari hewan) kurban dapat didistribusikan sebagai berikut: Orang yang berkurban, boleh mengambil untuk dikonsumsi sendiri dan keluarganya maksimal sepertiga dari hewan kurbannya secara wajar (tidak memilih bagian yang baik-baik saja); boleh mengambil untuk dibagikan pada kerabat, tetangga atau teman dekat, maksimal sepertiga dari hewan kurbannya; dan harus dibagikan kepada fakir-miskin, minimal sepertiga dari hewan kurban. Hal ini didasarkan pada makna hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW membagi kurbannya atas tiga bagian: sepertiga untuk keluarganya, sepertiga untuk tetangganya yang miskin dan sepertiganya lagi untuk peminta-minta (HR. Abu Musa al-Isfahaniy).

Daging kurban juga boleh diberikan kepada non-muslim yang tidak memusuhi umat Islam (menurut madzhab Hambali boleh, sedang menurut madzhab Maliki makruh). Hal ini karena tidak ada ayat atau pun hadist yang melarangnya, juga tidak ada ayat atau pun hadist yang mengkhususkan pembagian daging kurban pada orang Islam saja.

Dalam kaidah ushul fiqih dinyatakan: al-Ashlu fil asy-yaa’ al-ibaachah, chatta yadullad daliilu ‘alattachriim (pada dasarnya segala sesuatu itu diperbolehkan, sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya).

Tetapi jumhur fuqahaa’ (mayoritas ulama ahli fiqih) sepakat, bahwa daging kurban tidak boleh diberikan kepada tukang daging (penjual daging/jazzaar) mengingat meraka umumnya sudah bosan dengan daging dan hampir pasti akan dijual sebagai barang dagangan. Hal ini disandarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Ali Ra, bahwa Rasulullah SAW memerintahnya untuk berdiri ketika menyembelih onta (kurban), membagikan kulitnya, bagian punggungnya, dan sama sekali tidak memberi bagian pada penjual daging (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Mengenai masa pendistribusian daging kurban, tidak ada ketentuan eksplisit dari Rasulullah SAW yang melarang pendistribusiannya di luar hari tasyriq. Sepanjang penelusuran saya juga tidak ada pendapat fuqahaa’ (ulama ahli fiqih) tentang hal ini. Yang ada adalah larangan beliau agar umat Islam tidak menyimpan ”daging” kurban lebih dari tiga hari, tetapi kemudian beliau ralat. Rasulullah SAW bersabda (yang maknanya): ”Saya melarang kamu menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari, karena kepentingan sekelompok orang Badui. Kemudian Allah SWT memberikan kelapangan, maka simpanlah olehmu apa yang ada padamu” (HR.Muslim). Karena itu kebiasaan yang sudah berjalan sejak zaman Rasulullah SAW adalah bahwa semua “daging” kurban itu dibagikan pada hari-hari penyembelihan, kecuali yang disimpan.

Tetapi banyaknya umat Islam yang menyembelih hewan kurban pada saat yang bersamaan, membuat “daging” kurban melimpah yang tentu membutuhkan pemikiran bagaimana agar “daging” tersebut tidak membusuk, lebih bisa dinikmati oleh sebanyak-banyaknya umat Islam dalam jangka waktu yang relatif lebih lama. Maka muncullah pemikiran untuk mewujudkan hal tersebut melalui upaya pengawetan daging kurban dengan dikalengkan.

Persoalan fiqihnya muncul, apakah hal demikian diperbolehkan? Para fuqahaa’ Arab Saudi pernah tidak menyetujui pengawetan/pengalengan daging-daging kurban dan hadyu/dam yang amat sangat melimpah pada musim haji, dengan alasan karena hal tersebut tidak pernah ada pada zaman Rasulullah SAW, sehingga banyak daging di sana yang membusuk dan hanya menjadi makanan burung bangkai saja, padahal di belahan dunia yang lain amat banyak umat Islam yang membutuhkannya.

Tetapi kemudian mereka (fuqahaa’ Arab Saudi) menyetujui pengawetan/pengalengan tersebut, sebagaimana mereka menyetujui perluasan daerah Mina, pembukaan bagian belakang jumrah ’aqabah, pelebaran tiga tugu jamarat, dan penambahan tempat melontar jumrah, area thawaf dan sa’i, sesuatu yang benar-benar di luar teks hadis dan tidak pernah terjadi pada zaman Rasulullah dan para sahabat. Semuanya didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan dan keselamatan jamaah.

Mengingat pendistribusian daging kurban itu lebih berdimensi fiqih sosial dan ibadah ta’aqquliyyah (lebih berdimensi nalar), atas asas al-mashlachah (kemaslahatan) dan tidak adanya larangan eksplisit terkait hal ini, maka pengawetan/pengalengan daging kurban, pendistribusiannya di luar hari tasyriq, bahkan pengirimannya ke daerah lain yang lebih membutuhkan, diperbolehkan malah lebih utama karena lebih bermanfaat dan lebih luas jangkauannya.  Hal ini juga didasarkan pada kaidah ushul fiqih di atas: “al-Ashlu fil asy-yaa’ al-ibaachah, chatta yadullad daliilu ‘alattachriim” (pada dasarnya segala sesuatu itu diperbolehkan, sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya). Tetapi tetap harus ada sebagian ”daging” kurban yang langsung dibagikan kepada masyarakat sekitar. Wallaahu a’lam

BeritaTerkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *